Oknum Jualan Nilai!

Oleh: Dian Kurnia

Kawanku punya teman temannya punya kawan. Mahasiswa terakhir fakultas dodol. Lagaknya bak professor pemikir jempolan. Slintas seperti sibuk mencari bahan skripsi. Kaca mata tebal maklum kutu buku. Ngoceh paling jago banyak baca kofingho. Bercerita temanku tentang kawan temannya. Nyatanya skripsi beli oh di sana, buat apa susah-susah bikin skripsi sendiri. Sebab ijasah bagai lampu kristal yang mewah. Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi. Tinggal membeli tenang sajalah. Saat wisuda datang dia tersenyum tenang tak nampak dosa di pundaknya. Sarjana begini banyaklah di negeri ini, tiada bedanya dengan roti.

jual nilaiRangkaian kalimat di atas adalah lirik lagu yang dibawakan oleh sang maestro musik Indonesia, bang Iwan Fals. Lagunya berjudul “Teman Kawanku Punya Teman”. Selintas, lirik di atas menggambarkan kehidupan seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu fakultas yang bang Iwan sebut sebagai fakultas dodol. Ia sibuk dengan agenda penyelesaian skripsi. Namun, nyatanya itu hanya formalitas saja karena pada akhirnya skripsi ia dapatkan membeli dari orang. Realitas ini mungkin sudah cukup banyak menghiasi perjalanan mahasiswa negeri ini. Sungguh ironis memang, karena bayangkan saja selama empat tahun lamanya mereka bergelut dengan berbagai macam buku dan juga menghabiskan banyak uang untuk bayar SPP demi sebuah lambang gengsi kesarjanaan, namun nyatanya skripsi sebagai prasyarat mendapat gelar kesarjanaan malah didapatkan secara instan. Tentunya akan sangat kecewa bagi mereka yang menjadi orang tua sang mahasiswa dodol dan pastinya yang bersangkutan akan menanggung beban pikiran di kemudian hari.

Ada lagi cerita yang cukup menggelikan sekaligus mengejutkan. Beberapa orang sahabat bercerita kepada saya tentang temannya. Mereka para mahasiswa dengan gelar kehormatan sebagai mahasiswa dodol dengan mudahnya bisa lulus dan mendapatkan nilai cukup tinggi hanya dengan membelikan “sang dosen” sebuah handphone baru. Sungguh ironis bukan? Cerita lain, sang dosen dengan mudahnya memberikan nilai kepada mahasiswa dodol hanya dengan iuran kolektif dari mereka sebagai gonimah bagi “sang dosen”. Sebenarnya ada cukup banyak cerita ironis yang berangkat dari realitas kehidupan mahasiswa di kampus. Atmosfer akademik kampus bercampur baur dengan praktek politik para kaum borjuis untuk melanggengkan faham materialism, instanisme, dan dodolisme. Indahnya, gerak gerik mereka tak sedikitpun tercium oleh pimpinan tertinggi fakultas dodol, sehingga praktek penjualan nilai lambat laun menjadi sebuah kebudayaan yang terinternalisasi secara berkala.

Pada waktunya, sistem mendapatkan posisi yang selalu disalahkan oleh seluruh elemen yang meramaikan sistem tersebut. “Ini adalah kesalahan sistem dan harus diperbaiki”, tegas mahasiswa dodol dan sang dosen. Tegasnya lagi, “kami adalah korban dari lemahnya sistem menanggapi keberagaman aspirasi”. Tentu saja, hal ini menjadi sebuah “adagium budaya” yang mereka ciptakan dalam memperkeruh dan memperburuk estetika serta kekayaan tanah air beta.

Tanpa sedikitpun niat untuk mendeskriditkan pihak tertentu. Ini adalah realitas negatif yang sudah menjadi budaya di negeri ini. Tradisi jual beli nilai di kalangan akademisi kampus khususnya sudah menjadi hal yang sangat disayangkan sekali terjadi. Namun sungguh sayang, hal ini memang benar-benar terjadi dan nyata terdokumentasi oleh beberapa saksi. Kita tentunya akan merasa bingung dalam bersikap. Di satu sisi pemerintah dengan agenda pemberantasan kebodohan terus digulirkan dengan program unggulan pendidikan dasar sembilan tahun. Namun, di sisi lain berbagai praktek penyimpangan dalam proses belajar mengajar kerap kali terjadi secara struktural. Masih hangat di layar kaca kita pemberitaan tentang mahalnya sebuah kejujuran yang dilontarkan oleh seorang anak SD. Kejujurannya tentang praktek pembodohan siswa yang dilakukan oleh oknum guru mengakibatkan ia sekeluarga harus rela dipindahkan secara paksa keluar dari kampung halamannya sendiri. Kasus lainnya menyangkut prokontra Ujian Nasional yang baru-baru ini sudah dilaksanakan. Sudah banyak penyidikan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan baik tingkat nasional maupun daerah di beberapa sekolah menengah, faktanya telah terjadi penjualan kunci jawaban oleh oknum guru yang tidak bertanggung jawab untuk setiap mata pelajaran yang diujikan oleh sekolah yang bersangkutan. Secara tidak langsung sesungguhnya tindakan membocorkan kunci jawaban kepada para peserta Ujian Nasional ini telah menjadi sebuah ancaman serius bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia di masa depan yang siap kapan saja menghancurkan kepribadian bangsa kita.

Ketimpangan perilaku masyarakat kita, hemat saya adalah bersumber dari kurangnya pemahaman mereka tentang peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang khalifah dan hamba Tuhan YME. Pendidikan, sejatinya harus bisa memberikan sebuah perubahan perilaku dan sikap bagi individu-individu baru. Terlebih ketika bisa memberikan pengetahuan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak lepas dari etika dan norma-norma. Perlu adanya kerja keras dari semua pihak untuk menggulirkan kembali secara serius agenda pendidikan agama bagi anak usia dini. Pelajaran Agama sangat diperlukan untuk menyokong kekosongan pemahaman anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang dibenarkan secara yurispudensi. Dalam hal ini peran Guru Agama dengan kualifikasi terdidik serta profesional sangat diperlukan.

Alhasil, jika semua pihak bekerja sama dalam memberantas praktek-praktek amoral seperti penjualan nilai, pembocoran kunci jawaban, pengkerdilan wawasan siswa dengan pembatasan ruang ekspresi, serta berbagai macam hal refresif lainnya, maka dengan nada optimis akan kita dapatkan produk unggulan sekolah yang memiliki jiwa besar, berbudi luhur, serta menjungjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Oleh karena itu, lagi-lagi kita harus mulai kesadaran tersebut dari diri kita sendiri secara menyeluruh dan konsekuen dalam menanamkan sikap jujur dalam berucap, jujur dalam bertindak, serta jujur dalam bermuamalah.

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Opini, Pendidikan and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment