TERORISME DI DUNIA ISLAM: Resolusi Konflik Amerika-al-Qaeda

Oleh Yanuardi Syukur

DI LUAR DUGAAN. Selama ini, Amerika yang dikenal sebagai negara yang aman, mendapatkan serangan dahsyat. Peristiwa yang dikenal sebagai ”Black Tuesday” atau ”9/11” itu mengakibatkan kerugian bagi Amerika dengan hancur leburnya gedung kembar WTC, dan beberapa bagian di Pentagon.

Organisasi yang mendalangi serangan tersebut dikenal dengan al-Qaeda. Gerakan ini dipimpin oleh milyarder Arab Saudi (belakangan status kewarganegaraannya dicabut) yang berkantor pusat di sebuah negeri yang sarat dengan pengalaman perang: Afghanistan. Apa yang membuat al-Qaeda menyerang Amerika? Dan bagaimana resolusi yang tepat agar Amerika tidak dibenci oleh al-Qaeda (juga dunia Islam)?

***

Islam adalah agama yang damai. Islam tidak mengenal serangan pre-emptive (mendahului). Kaum muslim diperintahkan untuk mempersiapkan diri, tapi jika suatu saat terjadi perang antara Islam dan musuh, musuh itu perlu dihadapi. Sejak Islam datang pada abad ke-7 Hijriyah, kaum Muslim di Mekkah menderita di bawah siksaan kalangan Qurays. Namun, ketika kekuatan Islam telah mulai kuat—terutama setelah hijrah ke Madinah dan pendirikan negara Islam Madinah—Islam pun menunjukkan jati dirinya sebagai agama yang siap untuk berperang secara frontal dengan musuh.

Perintah untuk memerangi kalangan murtadin (golongan murtad), digerakkan oleh Khalifah Abu Bakar. Khalifah pertama ini menyerang kaum murtadin agar kembali ke pangkuan ajaran Islam yang benar. Termasuk yang diperangi adalah golongan Musailamah (dikenal dengan sebutan ”al-Kadzdzab”—pendusta) dan istrinya yang juga mengaku nabi.

Pasca berakhirnya Khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), kekuasaan Islam terus berkembang. Bersama dengan ini, peperangan pun tidak terhindarkan. Dalam konteks perang ini, tentu mereka yang kalah dalam perang ada saja yang menyimpan dendam yang seterusnya akan diwariskan secara turun temurun sebagai ”dendam sejarah” yang suatu saat harus dimuntahkan.

Pada Perang Salib (Crusade War) yang berlangsung berabad-abad, Islam menunjukkan jati dirinya sebagai agama yang kuat. Kekalahan yang diderita oleh Laskar Salib membuat kaum Kristiani untuk mencari solusi baru agar menaklukkan Islam, dan mencegah agar tidak melanjutkan ekspansi lebih jauh. Pelayaran yang dilakukan oleh bangsa Spanyol dan Portugis untuk mencari rempah-rempah di tanah Maluku, tidak bisa dipisahkan dari keinginan untuk menjadi penakluk bagi kekuatan Islam. Hal ini bisa dipisahkan dari semboyan gold (emas), gospel (agama), dan glory (kejayaan). Emas berarti kekayaan. Agama berarti adanya penyebaran ajaran Kristiani di tanah-tanah yang didiami oleh kaum muslim. Sedangkan kejayaan bermakna ambisi yang besar untuk menjadi penguasa atas dunia.

Di Indonesia, sebagai contoh, kolonialisme mengakibatkan kesengsaraan bagi kaum muslim. Pelayaran Hongi yang dilakukan maskapai dagang VOC mengakibatkan kerugian bagi bangsa pribumi. Sistem penanaman rempah-rempah dibatasi di kawasan tertentu, dan ketika bangsa pribumi menanam di lain tempat, maka tanaman-tanaman itu akan dibakar demi menjaga stabilitas harga dan persaingan di pasar dunia. Di Ambon berdiri gereja-gereja. Kristenisasi mengakibatkan berpindahnya kaum muslim, atau masyarakat asli ke dalam ajaran Kristiani.

Kebijakan ini, membuat resistensi di kalangan muslim. Perlawanan atas penjajahan dilakukan di banyak tempat. Kerajaan-Kerajaan yang termasuk dalam keluarga Kesultanan Ternate, meneriakkan jihad untuk melawan kaum kafir yang telah menduduki tanah-tanah umat Islam. Ketika Sultan Hairun tewas di tanah musuh, pelanjutnya—Sultan Baabullah—meneruskan perlawanan untuk melawan musuh yang sewenang-wenang atas tanah umat Islam.

Hal ini juga senada dengan kebijakan Amerika di Timur Tengah. Dengan ambisi untuk menaklukkan Timur Tengah—terutama sejak ditemukan potensi minyak yang besar—Paman Sam memutuskan untuk all out di kawasan ini. Penandatanganan kerjasama dengan pemerintah Saudi yang melahirkan berdirinya ARAMCO, membuat Amerika mendapatkan pijakan strategis. Selanjutnya, pelatihan militer yang diadakan di tanah Haramain (Mekkah dan Madinah) dilakukan. Saudi membutuhkan security (keamanan) agar kebijakan-kebijakannya aman, sedangkan Amerika membutuhkan minyak bagi industrinya. Simbiosis mutualisme di antara kedua negara ini mengakibatkan perlawanan dari veteran jihad yang pernah bertempur di Afghanistan.

Osama bin Laden, adalah salah seorang yang meneriakkan perlawanan terhadap Amerika karena Amerika telah menduduki tanah suci umat Islam. Dalam kepercayaan Islam, kaum kafir (termasuk Amerika) tidak diperkenankan untuk memasuki tanah haram (Mekkah dan Madinah). Kalaupun dibolehkan, maka hanya karena alasan darurat dan tidak lebih dari tiga hari. Kerjasama yang intens antara kedua negara itu, berikut dengan tidak diadopsinya ide Osama untuk menjauhkan Haramain dari Amerika, membuat Osama dan kelompoknya (al-Qaeda) membuat front untuk melawan Amerika (juga Yahudi) pada 1998.

Kenapa harus melawan? Osama dan gerakan al-Qaeda (sebagai salah satu contoh dalam umat Islam), melakukan perlawanan terhadap Amerika karena negara tersebut telah melakukan beberapa hal di bawah ini:

Pertama, Standar Ganda dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan Washington terhadap Israel. Sejak awal berdiri pada 1948, Amerika memberikan support kepada Israel, hingga saat ini. Beberapa waktu lalu, Presiden Barack Obama juga menyerukan agar memboikot kelompok Hamas di Palestina karena mengirimkan rudal-rudalnya ke Israel. Obama memposisikan bahwa Israel adalah negara yang terancam karena serangan-serangan dari kelompok Hamas dan pejuang Islam lainnya di Palestina.

Dalam Pemilu yang diadakan di Palestina beberapa waktu lalu, kemenangan di pihak Hamas menjadi mentah ketika berhadapan dengan Amerika. Hamas dicap sebagai salah satu negara teroris. Padahal, mayoritas pendudukan Palestina mendukung gerakan yang didirikan oleh Ahmad Yassin pada akhir 1980-an ini. Demokrasi menyatakan bahwa suara terbanyaklah yang berhak untuk menjadi pemimpin karena representatif. Namun, ketika suara terbanyak diperoleh oleh musuh politiknya, maka kebijakan standar gandanya pun berlaku.

Tentu, kebijakan seperti ini mengakibatkan perlawanan dari pihak Hamas sendiri, dari kalangan muslim, bahkan aktivis kemanusiaan. Dukungan terhadap Hamas yang ada di banyak negara menandakan bahwa kelompok tersebut telah dizalimi oleh kebijakan luar negeri Paman Sam.

Kedua, Penyebaran budaya Barat. Budaya kebebasan bertentangan dengan konsepsi yang ada dalam Islam. Islam menghargai manusia, misalnya dengan menutup aurat. Namun, budaya Amerika tidak seperti itu. Ketika Amerika menyebarkan budaya ini di kalangan umat Islam (secara langsung atau tidak), maka penentangan terhadap itu datang dari kaum muslim. Budaya yang tidak sehat itu mengakibatkan sekularisasi di kalangan umat Islam. Cara berpikir yang bebas dan tidak berpatokan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi, membuat negeri-negeri muslim terpecah antara golongan yang pro-Barat dan tidak. Friksi antara golongan radikal versus moderat menjadikan umat Islam tidak tiba pada titik temu untuk bersatu.

Apa yang diinginkan oleh al-Qaeda dengan serangan-serangan mereka kepada Amerika adalah untuk memberitahukan bahwa kaum muslim tidak membenarkan kebijakan Amerika, termasuk budayanya. Dalam Islam, sistem budaya masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari Islam secara umum. Islam tidak mengenal dikotomi antara kehidupan yang profan dan sakral, atau yang duniawi dan ukhrawi.

***

Bagaimana menyelesaikan konflik antara Amerika dan al-Qaeda? Setidaknya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar konflik antara negara besar dan kelompok transnasional ini berakhir. Dalam konsepsi Islam, pertarungan antara al-haq (kebenaran) dan al-bathil (kebatilan) selalu ada di tiap zaman. Namun, solusi untuk itu selalu akan ada.

Pertama, Amerika harus mengubah kebijakan luar negerinya. Noam Chomsky sering mengkritik kebijakan negaranya, karena ”berat sebelah”. Olehnya itu, Chomsky mengusulkan kepada negara-negara lain bahwa solusi untuk menyelesaikan masalah terorisme adalah dengan ”tidak bekerjasama dengan Amerika”. John L. Esposito, dalam bukunya Unholy War, juga menyebutkan solusi bahwa Washington harus mengubah kebijakannya.

Apa saja kebijakan luar negeri yang perlu diubah? Terhadap Israel. Amerika perlu memutuskan bantuan turun temurunnya kepada Israel. Sumber konflik antara Islam dan Amerika (juga terhadap Yahudi) adalah sejak Zionisme mengambil paksa tanah-tanah sah warga Palestina. Artinya, dengan support finansial dari Amerika kepada Israel hingga saat ini, maka Israel akan terus melakukan kebijakan yang diskriminatif terhadap bangsa Palestina. Sedangkan Palestina di dalamnya terhadap Masjid al-Aqsha, salah satu masjid yang disucikan oleh umat Islam di seluruh dunia karena di tempat inilah Rasulullah ber-mikraj ke langit.

Perlawanan Palestina sejak 1948 hingga kini, berikut Perang Arab-Israel, dan terorisme yang dilakukan oleh al-Qaeda di berbagai tempat, tidak lepas dari Israel sebagai titik masalah. Amin Saikal menulis dalam Islam and West, ”Masalah ini merupakan pemicu frustasi dan kemarahan anti-Amerika di Dunia Arab dan muslim” (p.256). Ketika Amerika tidak memberikan bantuannya kepada Israel, maka otomatis Israel akan kehilangan kekuatan untuk bertahan. Dengan begitu maka keadilan akan menjelma. Namun, kebijakan ini sulit dilakukan oleh pemerintahan Obama. Obama menyebut bahwa Israel ”adalah sekutu terbaik kita di Timur Tengah”. Berarti, sulit bagi Obama (yang mendapat support dari kalangan Yahudi di Amerika) untuk melawan mereka yang telah membantu hingga dirinya terpilih sebagai orang nomor satu di Gedung Putih.

Kebijakan Amerika untuk menyerang lebih awal kepada target yang disebut sebagai musuh, perlu diubah. Sebagai contoh, dalam Perang Irak, isu yang diangkat adalah Saddam Hussein memiliki kaitan dengan al-Qaeda, dan memiliki Senjata Pemusnah Massal (WMD), namun senjata tersebut tidak ditemukan di Baghdad. Bahkan, Osama tidak bekerjasama dengan Hussein. Seharusnya, Amerika mendapatkan penjelasan yang valid akan dua masalah itu. Karena, efek dari serangan tersebut telah mengakibatkan korban dari rakyat Irak.

Kebijakan lain, terhadap negara-negara berkembang. Amerika perlu membatasi agar tidak meng-intervensi pada kebijakan dalam negeri negara lain. Di Indonesia sebagai contoh, kebijakan anti-terorisme erat kaitannya dengan kampanye War Against Terrorist yang dikumandangkan oleh Presiden Bush. Di kalangan umat Islam Indonesia, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Pada akhirnya, mereka yang kontra, tidak segan-segan untuk menyerang pos-pos penting Amerika dan Barat seperti kedutaan dan tempat berkumpulnya warga asing seperti pada Bom Bali I yang dilakukan oleh mereka yang pernah bertempur di Afghanistan.

Kedua, Sebagai turunan dari berubahnya kebijakan luar negeri Amerika, maka al-Qaeda perlu menjaga agar tidak meneror pada sasaran yang tidak tepat. Al-Qaeda saat ini telah memperluas wilayah kerjanya ke lebih dari 50 negara di dunia. Aksi-aksi bomnya meledak di banyak tempat. Ketika Amerika telah mengubah kebijakannya, maka al-Qaeda perlu membatasi serangannya dan mencari titik temu. Walau sulit untuk bertemu pada titik yang sama, tapi dengan dialog untuk menciptakan dunia yang lebih baik akan mendatangkan persamaan di antara keduanya.

Apa yang akan dilakukan oleh al-Qaeda, sangat bergantung pada kebijakan Amerika. Al-Qaeda didirikan karena melihat kebijakan Amerika yang diskriminatif di Timur Tengah dan dunia Islam. Olehnya itu, akar teror yang dilakukan oleh kelompok tersebut tidak bisa dilepaskan dari Amerika sebagai sebab utama. Termasuk dalam hal ini adalah Israel.

Memang, jika dirunut lebih jauh, akar konflik antara al-Qaeda dan Amerika saat ini tidak bisa dilepaskan dari perang antara Barat dan Islam. Di awal abad ke-20, salah satu sebab runtuhnya Turki Utsmani adalah karena konspirasi dari Barat. Ketika Usmani runtuh, wilayah-wilayah bekas kekhilafahan itu dibagi-bagi. Di titik ini, politik untuk pecah belah (devide et impera) mengakibatkan kalangan muslim tidak memiliki kesatuan dalam geraknya. Ini menjadi konflik tersendiri dalam diri umat Islam, karena dalam Islam dikenal konsepsi ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) yang sifatnya transnasional. Artinya, bahwa sistem pemerintahan yang sifatnya global, adalah sebuah kemestian dalam persatuan.

Dengan pembagian tanah-tanah itu, maka Israel mendapatkan konsesi di Palestina. Akhirnya negara baru itu menjajah bangsa Palestina, dan memperluas wilayahnya dari tahun ke tahun. Hal ini menimbulkan kecemburuan tersendiri dalam diri umat Islam, karena bangsa Israel awalnya hanya datang sebagai pengungsi karena diusir di berbagai tempat, termasuk di Eropa. Namun, ketika negara Israel berdiri, ekspansinya terus melaju. Kebijakan ekspansionisme Israel yang juga didukung oleh Amerika, menjadi titik konflik bagi Islam dan Barat.

Jadi, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa konflik yang terjadi di Timur Tengah saat ini, termasuk yang membuat gerakan al-Qaeda menyerang Amerika tidak lepas dari masalah Israel-Palestina. Kebijakan Amerika yang diskriminatif, perlu diakhiri kalau berkehendak untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, bahkan dunia. Al-Qaeda adalah reaksi dari aksi yang sejak awal dilakukan oleh Israel dan Amerika. Untuk mencapai solusi, maka aksi pertama perlu diakhiri, kemudian reaksi dari al-Qaeda akan berakhir. Namun, melihat kondisi dunia, termasuk dari hadits nabi Muhammad tentang peristiwa akhir zaman, sepertinya sulit bagi Amerika dan al-Qaeda, atau antara Israel dan Palestina untuk bisa damai. Kecuali, setelah salah satunya dikalahkan, seperti kalahnya Soviet atas Amerika pada Perang Dingin. ***

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Berita, Gerakan, Islam, Umum and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment