Ambiguitas Politik

Oleh: DIAN KURNIA

“Pancaroba Politik” betul-betul kebetulanPOLITIK merupakan rumusan ilmu pengetahuan yang bertugas mempelajari tujuan tertinggi dari eksistensi manusia. Ia bukan semata-mata alat praktis untuk meraih dan membangun kekuasaan duniawi semata. Ia juga bukan sebatas media permainan para politisi dalam melepaskan kepenatan sosial demokrasi, kata Aristoteles. Dalam literatur politik mafia hukum, kesejahteraan pribadi menjadi milik mereka, dan oleh sebab itu, maka semua aset yang serta merta dikelola langsung oleh negara harus dibenamkan hingga habis. Sebagaimana terjadi di republik ini, praktek suap menyuap dan tindak pidana korupsi telah menjadi budaya yang bisa ditemukan hampir di setiap aspek kehidupan.

Disadari atau tidak, hal itu sesungguhnya akan menghilangkan esensi daripada nilai pembangunan seperti nasionalisme dan patriotisme yang sejatinya tumbuh di negara kesatuan Republik Indonesia. Praktek politik praktis macam korupsi, telah menggerus nilai ideologis yang termaktub di dalam Pancasila, yakni sila keadilan sosial.

Belum hilang dari benak kita ketidakbecusan pemerintah menangani hak hidup TKW di luar negeri (seperti yang terjadi pada kasus Ruyati binti Satubi yang harus dieksekusi pancung oleh Arab Saudi), mahalnya harga sebuah kejujuran, sikap koalisi kepartaian yang cenderung menjauhi nilai-nilai demokrasi, ambisiusitas pejabat korup yang menggasak APBN dengan alasan SB (studi banding) ke luar negeri, serta kasus baru yang membawa nama Nazaruddin –mantan Bendahara Umum Partai Demokrat— telah mengagetkan semua pihak di negeri ini. Realitas demikian menguatkan bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan sistem yang dianut.

Persemakmuran politisi tuna-aksi dalam Komunitas Mafia Hukum Nasional (KMHN), membawa kita pada suasana demokrasi fiktif. Dalam istilah Soekarno disebut sebagai Demokrasi Raba-Raba. Mereka memainkan pertunjukan panggung sandiwara dalam entitas bangsa plural. Kompeleksitas kepentingan pribadi politisi tuna-aksi yang cenderung terlihat extra materialistis, semakin menghantarkan kita ke dalam jurang kehancuran. Saat ini, perjuangan politik atas dasar nilai-nilai demokrasi sangat sulit dimobilisasi. Hingga, tidak berlebihan kiranya jika politik praktis yang dipertontonkan oleh pejabat korup pantas dikatai dengan “lempar batu sembunyi tangan”.

Dalam pandangan penulis, politik sejatinya berfungsi sebagai media untuk menyalurkan aspirasi publik kepada pemerintah. Sebagaimana halnya pada pemilu. Terjadi partisipasi aktif publik terhadap sirkulasi pemerintahan yang sedang berjalan. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit oknum melencengkan fungsi tersebut secara operasional. Dalam ranah konseptual, politik memiliki fungsi yang cukup ideal, yakni untuk membangun bangsa dari keterpurukan. Serta, sebagai media alternatif dalam mengartikulasi berbagai macam pemikiran ketika realitas sosial dengan berbagai macam problematikanya bertubi-tubi menyodorkan gelombang kebimbangan. Penyalahgunaan kekuasaan (malpraktek kekuasaan) menjadi tradisi baru para pemimpin kita. Hingga ia banyak dicontoh oleh sebagian dari kita. Kekayaan alam yang berlimpah ruah hampir di setiap pelosok, inprastruktur negara yang tersedia, (mungkin) tidak bisa lagi kita nikmati, dan tentunya, oleh generasi setelah kita. Ini adalah bencana nasional yang sangat berbahaya dalam proses pembangunan. Harus segera diselesaikan oleh pemimpin yang merasa punya kesadaran untuk bangkit.

Pembenahan struktur dan infrastruktur terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Walaupun selalu dihadang oleh permasalahan baru yang lebih berat. Optimalisasi sektor informal menjadi aspek utama yang sedang diupayakan. Ironisnya, hampir dua dekade usia reformasi, masyarakat semakin jauh dari kesejahteraan. Mereka semakin apatis dengan keadaan sosial politik bangsa ini. Bahkan, hasil pooling Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama Goethe Institute, membuktikan kecenderungan publik dalam berpartisipasi di ranah politik mengalami penurunan angka ketimbang zaman reformasi dulu. Terlepas dari efektif tidaknya hasil pooling tersebut, realitas menunjukan orang-orang memang sibuk dengan urusan pribadinya masing-masing, tanpa peduli dengan kehidupan sosial sekitarnya.

Hal ini terjadi karena fakta ambiguitas politik menjalar secara radikal di setiap sektor kehidupan. Kesenjangan antara konsep dengan realita semakin jelas terlihat dalam suasana crash. Seperti yang diungkapkan oleh Peneliti Senior LIPI, Siti Zuhro. Menurutnya, sikap apatis publik terhadap dunia politik negeri merupakan akibat dari buruknya perilaku para politikus, khususnya politikus dari partai yang berideologi mayoritas atau partai berbasis ideologi tertentu. Dalam sejarah kita melihat founding fathers bangsa ini hidup secara sederhana, tidak mementingkan ambisi pribadi untuk memperkaya diri dan keluarga sendiri. Karir politik pun tidak berakhir di dalam bui seperti halnya pada zaman Orde Baru dan masa reformasi kini yang kebanyakan terjerat dalam kasus korupsi dan penggelapan uang. Oleh karenanya, publik menjadi muak dengan dunia politik negara ini.

Ketidakbecusan pemerintah dalam menjalankan tugas serta fungsinya, ketidaktegasan memutuskan suatu perkara, serta ketimpangan aparat penegak hukum dalam menjalankan supremasi hukum, menjadi sebab mengapa berbagai permasalahan tak pernah selesai dibereskan secara profesional. Kita –yang sadar tentang pentingnya perubahan- harus mulai berbenah diri, mengoptimalkan potensi yang ada. Pendidikan formal masyarakat harus lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Terutama pendidikan agama yang menjadi landasan utama menjalani kehidupan, serta pendidikan politik yang merupakan bagian dari realitas kebangsaan saat ini.

Pendidikan politik mengajarkan masyarakat bagaimana mengatur kekuasaan sedemikian rupa secara proporsional dengan tidak melepaskan nilai-nilai kejujuran. Tentunya setelah melalui pendidikan agama. Perilaku amoral yang menghambat pembangunan bangsa mungkin saja bisa diminimalisir jika semua pihak bekerja keras menerapkan akhlak politik dalam budaya politik yang sesungguhnya. Yakni politik sehat yang berlandaskan pada pemahaman tentang pentingnya kejujuran. Karena semua kekacauan yang timbul saat ini berpangkal dari lemahnya nalar intelektual, serta hilangnya nilai-nilai kejujuran dari jati diri bangsa. Terlalu mengedepankan nilai materilisme dan hedonisme dalam menjalani kehidupan. Sehingga publik cenderung melihat ambiguitas politik sebagai kewajaran. []

Penulis, Mahasiswa Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora  UIN SGD Bandung

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Opini, Politik and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a comment