Kesaksian Alumni Ponpes Al Zaytun

Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah (KW) 9 yang baru-baru ini booming kembali dan menggemparkan stabilitas negara Indonesia dengan gerakan pencucian otaknya (brain washing), telah meresahkan para orang tua yang memiliki anak sekolah di SLTA dan Perguruan Tinggi. Tak ayal, pengkaderan keanggotaan NII KW 9 telah mencapai titik maksimal. Berbagai daerah di Indonesia telah menjadi basis pergerakannya. Baru-baru ini diketemukan markas pelatihan militer NII KW 9 di wilayah Parung Bogor, Jawa Barat. Berikut saya sajikan testimoni dari alumni Pondok Pesantren Al Zaytun di Indramayu dengan pimpinan Panji Gumilang sebagai tokoh sentral dari gerakan yang diduga NII ini dan telah melakukan tindakan makar di Indonesia.

***

TIAP hari Jumat tidak hanya kelompok rijal (laki-laki) yang berbondong-bondong menunaikan ibadah salat Jumat di Masjid Al-Hayat. Kelompok nisa (perempuan) baik santriwati, ustazah, dan lainnya pun ikut menunaikan ibadah salat Jumat sebanyak dua raka’at, termasuk Nesty Trioka Pamungkas sebagai salah satu mantan santriwati Pondok Pesantren Ma’had Al Zaytun.

Berikut penuturan Nesty. Sebelum salat Jumat, biasanya semua jamaah di masjid, termasuk para jamaah perempuan yang berhalangan tidak menunaikan salat di pelataran masjid mendengarkan tausiah dari Pandji Gumilang selaku pimpinan pondok pesantren. Tidak dipungkiri jamaah salat Jumat juga terdiri dari tamu pengunjung, baik dari keluarga santri, tamu umum, bahkan tamu dari luar negeri seperti dari Mesir, Malaysia, dan lainnya.

Kebiasaan itu terus saya lakukan selama empat tahun mengenyam pendidikan, tiga tahun di bangku Madrasah Tsanawiyah dan satu tahun di Madrasah Aliyah di Al Zaytun. Sebagai murid angkatan pertama, saya yang pertama kali merasakan peraturan dasar berbusana. Salah satunya adalah dilarangnya berbusana berbahan denim alias jins.

Setiap harinya saya berpakaian gamis atau rok dan baju atasan serta jilbab penutup kepala. Semua pakaian yang saya kenakan tidak ada yang terbuat dari bahan denim dan kaus. Saya pun hanya bisa mengenakan celana panjang ketika berolahraga. Berdasarkan sepengetahuan saya, larangan penggunaan bahan denim berkaitan dengan norma susila.

“Jins itu membentuk lekukan badan, terlihat tidak sopan, tidak santun, dan tidak rapi,” jelas seorang pembimbing kamar saya ketika saya tinggal di kamar 324 Gedung Al Mustofa.

Untuk bidang akademis, setiap hari saya belajar di kelas yang terletak di Gedung Pembelajaran Abu Bakar. Sekelas saya semuanya santri perempuan. Ada seorang wali kelas dan tentunya guru mata pelajaran yang lain.

Sebagai lembaga pendidikan yang dinaungi Yayasan Pesantren Indonesia (YPI), berbagai pelajaran yang menyangkut ilmu agama dipelajari. Sebut saja Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Al Mahfudzot, Ilmu Fiqih, Al Imla’, dan Ilmu Tajwid. Namun salah satu mata pelajaran yang cukup mengejutkan saya adalah Jurnalistik.

Masih terkait ilmu agama, setiap hari saya bersama teman-teman sekamar membaca dan menghafal ayat-ayat suci Alquran. Dua kali sehari setelah salat Subuh dan sesudah salat magrib ketika menunggu waktu salat isya.

Setiap bulan diadakan pengumpulan data santri yang berhasil mampu menghafal terbanyak ayat Alquran. Bahkan ada panggilan khusus bagi para pemenang itu, yaitu hafiz dan hafizah.

“Tiap subuh menyetor hafalan ke pembimbing kamar, tapi kalau lagi malas ya sering tidur juga,” tutur teman saya yang pernah sekamar dengan saya di Asrama Mustofa.

Namun yang paling berkesan di memori saya adalah makanan dan minuman yang disajikan, dijual, dan yang diperbolehkan masuk ke Ma’had Al Zaytun. Tidak unsur vetsin dan pengawet lainnya yang kerap ditemui dalam makanan instan seperti mi instan, makanan ringan, dan minuman soda. Bahkan menu bakso atau siomay yang dijual di kantin umum pun tidak mengandung vetsin atau pengawet.

“Lebih sehat seperti ini, enggak ada vetsinnya. Dan baksonya lebih enak tanpa mi instan,” ujar seorang teman kepada saya ketika mencoba mencari penyedap rasa untuk makanan yang saya beli di kantin umum.

Begitulah beberapa kebiasaan dan kenangan yang saya alami selama bersekolah di sana. Jika tidak salah, ada sekitar 1.400 murid yang terdaftar sebagai angkatan pertama di 1999 yang datang dari hampir seluruh provinsi di Indonesia. (OL-5).

Sumber asli: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/223647/293/14/Testimoni-Alumnus-Al-Zaitun

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Aliran Sesat, Gerakan, Pengalaman and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment