Depresi Sosial: Wacana dan Aktualitas Masyarakat Indonesia

Oleh: Dian Kurnia

depresiBERBAGAI peristiwa besar yang berkaitan erat dengan masalah moral kehidupan sosial kita terus-menerus menjauh dari harapan perubahan. Ia tak pernah hilang dari pemberitaan awak media. Bukan hanya satu atau dua masalah, tetapi ada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus masalah krusial tanpa disertasi solusi terarah. Tak ayal, ia menjadi sasaran empuk awak media massa baik lokal maupun nasional untuk diinjeksikan kepada khalayak.

Setelah mencuatnya isu politik busuk faksi-faksi di DPR, bermekarannya praktek korupsi masal para elite politik, kini, depresi sosial yang berbuntut pada praktek-praktek pengrusakan (radikalisme) masa kian merambah ke semua sendi kehidupan masyarakat. Stabilitas kehidupan menjadi semakin terganggu oleh hal semacam ini. Persoalannya hanya satu yakni supremasi hukum yang belum terlihat berjalan secara adil dan merata. Hal ini menjadi momok menakutkan di awal tahun 2012.

Adalah William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973) yang menggambarkan bahwa hukum memang sengaja dibuat dengan kecenderungan untuk menampung keinginan segelintir elite politik yang menguasai negara daripada menuruti kepentingan dan kehendak rakyat. Tesis ini faktual untuk kasus-kasus di Indonesia. Keberpihakan hukum cenderung lebih besar kepada mereka yang berharta dan berpengaruh besar. Sementara rakyat jelata dibiarkan terengah-engah dikejar jeratan kasus tak berkesudahan. Kisah sang Putri dan bos Besar kiranya menjadi contoh nyata atas kebobrokan sistem. Tak ayal, ambiguitas seperti ini akan melahirkan gerakan protes secara besar-besaran dari rakyat kepada pemerintah pusat. Revolusi rupanya tak pernah mati di bumi Pertiwi.

Persoalan bangsa adalah persoalan manusia, dan persoalan manusia adalah persoalan Tuhan. Adagium ini berlaku universal untuk semua kasus. Manusia selalu bermasalah dengan Tuhan. Sebab, masalah manusia merupakan bentuk kuasa Tuhan atas kehidupan. Apabila nalar sudah tak lagi digunakan, maka hukum hakikatlah yang akan bekerja. Ketika hukum negara sudah sedemikian kronis dipreteli gigi taringnya oleh oknum penegak hukum, maka wajar jika bencana alam dan bencana kemanusiaan lainnya bertubi-tubi menyapa kita hingga tak ada akhirnya.

Ketimpangan hukum yang berlaku di Negara kita, berlama-lamanya penyelesaian skandal ‘busuk’ para koruptor, serta perilaku kekanak-kanakan anggota DPR dalam mengemban tugas serta fungsinya, semakin menunjukan evidensi merdekanya elite politik korup yang menjunjung tinggi simbol-simbol keambiguan. Mengatasnamakan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, janji semu pembangunan kian menjauhkan bangsa dari cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan kepentingan umum seakan menjadi idealisme utopis para bandit negara. Lahirlah fenomena depresi sosial yang berbuntut pada aksi radikalisme di berbagai tingkatan kehidupan. Hal ini muncul sebagai konsekuensi logis atas ketidakhadiran negara dalam pencaturan politik kebangsaan yang makin semrawut dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Firman Allah Swt dalam kitab suci Al-Qur’an, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka (malaikat) menjawab, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. Al-Baqarah, ayat 30)

Sedangkan, dalam sebuah hadits, Rasul Saw bersabda, “Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimanakah menyia-nyiakan amanat wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab: “Apabila amanat diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Beragam fenomena “tidak wajar” baik di tataran alam maupun dunia politik, sejatinya mampu menghidupkan nalar kita agar hukum hakikat (baca: adzab) tak menghentakan nurani ini ke jurang penyesalan. Beragam krisis multidimensional terus menerus menghardik integritas bangsa ini. Tercatat sejak reformasi 1998 bergulir persoalan hukum dan keadilan semakin sulit dipecahkan secara tuntas, malah kian menggunung, dan mempengaruhi semua sendi kehidupan yang ada. Kemelut ini tak sedikitpun memperlihatkan signal perubahan ke arah yang lebih baik.

Beragam potret kekerasan baru-baru ini dimainkan oleh masyarakat kelas bawah di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti di Sidomulyo, Mesuji (Lampung), Bima (NTB), area pertambangan PT Freeport (Papua), dan terakhir aksi blokir tol oleh kawanan buruh di Bekasi, Jawa Barat. Hal ini tak lain dan tak bukan adalah karena kualitas pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir elite saja. Kapitalisme sudah sangat tersosialisasikan secara baik. Rakyat semakin sulit menjalani hidup karena tidak mendapat manfaat apa-apa dari pertumbuhan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah memperingatkan bahwa krisis keuangan global akan meningkatkan gangguan mental/kegilaan dan bahkan akan meningkatkan praktek bunuh diri. Sementara banyak orang lainnya berjuang menghadapi kemiskinan dan pengangguran, ratusan juta orang di seluruh dunia sudah terkena pengaruh gangguan mental seperti depresi sosial. WHO juga menyebutkan, dampaknya dapat terlihat pada orang-orang yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan akses perawatan yang juga terbatas. (Kompas, 11-10-2008)

Depresi sosial adalah indicator sederhana dari hadirnya hukum hakikat. Dan, radikalisme sosial menjadi dampak logis atas kegagalan pemerintah mengemban tugas serta fungsinya dalam menyejahterakan rakyat. Mungkinkah keberpihakan kita — yang masih sadar menggunakan nalar — terhadap kebenaran akan semakin terpojokan oleh ketimpangan pejabat korup sebelum datangnya adzab Tuhan?***

Penulis, pengamat politik Indonesia

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Opini, Politik and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

1 Response to Depresi Sosial: Wacana dan Aktualitas Masyarakat Indonesia

  1. WithHeart says:

    Salah satu hal kecil dari begitu banyaknya praktek korupsi, pada kenyataannya justru masyarakat miskin dari pedesaan dipaksa untuk bekerja dinegeri orang, dan meninggalkan hasil bumi yang melimpah yang selalu anjlog harga saat panen. Sementara hasil kerja keras rakyat miskin itu mereka gunakan untuk membesarkan perut, kalau kurang mereka tak segan-segan berhutang, dan kembali hutang itu mereka timpukan kepada rakyat.

Leave a comment