Sikap Seorang Muslim

Oleh: Dian Kurnia

Dalam realitasnya, seseorang akan menjadi hina karena ia menghina orang lain. Seseorang akan kekurangan jika ia pelit. Seseorang akan dihantui kesulitan jika ia mempersulit orang lain. Sebaliknya, seseorang akan menjadi mulia karena ia memaafkan. Seseorang akan memiliki kelebihan jika ia menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah. Seseorang akan dimudakan jika ia mempermudah urusan orang lain. Begitulah konsekuensi logis sikap seorang muslim dalam hidupnya. Keimanan menjadi harga mati yang tak bisa diganti oleh materi sebesar apa pun dan sebanyak apa pun. Ia terinternalisasi dalam qalbu yang paling dalam, menjadi navigator ulung dalam memetakan langkah meniti panjangnya lorong dalam jalan kehidupan yang tak pernah putus dari berbagai macam permasalahan.

Sejak kehadirannya di Mekah, Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., telah membawa arus transformasi yang sangat radikal dan komprehensif, terutama bagi perubahan kehidupan individual dan sosial. Allah SWT melalui Rasul-Nya telah memberikan petunjuk yang paling ideal tentang bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap. Apabila kita disakiti oleh orang lain, janganlah membalas dengan menyakiti tetapi balaslah dengan do’a yang ikhlas untuk kebaikannya. Apabila kita dimusuhi, maka berserah diri kepada Allah adalah langkah terbaik yang patut dilakukan. Sirah perjalanan Nabi Muhammad Saw menjadi literatur terlengkap bagi seorang muslim dalam memperkaya khazanah islamiyah tentang petunjuk-petunjuk agung Ilahi untuk memetakan sikap merespon fenomena refresif dari luar.

Realitas kehidupan bermasyarakat sejatinya diimbangi oleh sikap yang mencerminkan pribadi seorang muslim. Seperti keimanan kepada Allah, menjungjung tinggi keadilan dan persamaan sebagai manusia, menjaga persaudaraan, menghormati kemerdekaan orang lain, kesadaran akan tanggungjawab bersama, serta membangun pribadi gotong royong. Masyarakat Islam telah menjadi masyarakat penengah jika poin-poin di atas terinternalisasikan secara menyeluruh oleh setiap pribadi-pribadi muslim. Coba kita renungkan firman Allah Swt di dalam al-Qur’an, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah Swt tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Q.S. Lukman, ayat 18). Hal ini sesuai dengan prinsip al-musawwah atau persamaan dalam memetakan sikap membangun kehidupan sosial yang kondusif secara proporsional.

Allah SWT senantiasa mendampingi hambanya yang teraniaya selama ia bersikap secara proporsional sebagai seorang muslim sejati. Bersikap lemah lembut kepada mereka yang bersikap kasar terhadap kita. Rasulullah Saw telah bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan diriku agar bersikap lemah lembut terhadap umat manusia sebagaimana Dia memerintahkan diriku untuk mendirikan fardhu-fardhu”. (HR. ad-Dailami melalui Aisyah r.a.)

Secara uumum, arti hadits di atas adalah berdiplomasi, bersikap lemah lembut dan menarik kepada orang lain yang kasar kepada kita. Dengan begitu kita akan mendapatkan kemuliaan yang datangnya dari sisi Allah SWT. Bukankan Islam yang dibawa oleh Rasul Saw dari Jazirah Arab mengajarkan kelembutan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an al-Karim yang berbunyi, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Ali Imran, ayat 359)

Sesungguhnya hanya Allah-lah hakim paling adil yang akan memutuskan setiap perkara yang kita lakukan ketika di dunia. Balasan Allah adalah sebaik-baik balasan. Oleh karena itu, tanamkan pada diri kita sikap lemah lembut kepada setiap orang secara proporsional terlebih kepada mereka yang telah menyakiti kita.  Berkomunikasilah dengan sikap empatik. Melihat pribadi lain bukan sebagai sesuatu yang harus ditekan, melainkan sesuatu yang sama seperti diri kita. Hal ini sudah sering diajarkan dan dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw., tinggal kita mau belajar atau tidak.

Wallahu’alam

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Islam, Renungan. Bookmark the permalink.

Leave a comment