Ajip Rosidi, “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia”

“Tidak ada orang Sunda yang menjadi Presiden RI, yang menjadi wakil pun hanya seorang. Itu pun tidak memperlihatkan prestasi yang membanggakan. Mungkin karena merasa menjadi ban serep saja.” Itulah salah satu pernyataan menggelitik banyak orang -terutama orang Sunda dan suku Sunda- dari sastrawan Sunda Ajip Rosidi perihal kontribusi urang Sunda dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beliau sampaikan dalam orasi ilmiah di Universitas Padjadjaran, Dipati Ukur, Kota Bandung.

Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia”, saat menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) untuk program studi Budaya Fakultas Sastra dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Senin (31/1), sastrawan Ajip Rosidi mengatakan, orang Sunda suka membohongi diri sendiri dengan berpegang pada mitos-mitos yang tidak rasional dan tidak ada buktinya. Umpamanya, kata Ajip, percaya epada keagungan Kerajaan Pajajaran dan rajanya Prabu Siliwangi, yang secara historis tidak ada buktinya pernah ada. Sebab keduanya hanya terdapat dalam cerita pantun, dongeng, mitologi, dan semacamnya.

“Hal itu menyebabkan orang Sunda tidak merasa perlu berusaha melakukan sesuatu. Sebab terlalu percaya akan datangnya pertolongan dari Prabu Siliwangi (padahal tak pernah datang),” ungkapnya.

Pada bagian lain orasinya Ajip mengatakan, kesadaran sebagai orang Sunda perlu dibina, tapi dengan kesadaran bahwa Sunda sekarang berada di lingkungan Indonesia. Orang Sunda sekarang bukan keturunan Prabu Siliwangi, yang hendak mendirikan keagungan Kerajaan Pajajaran.

Pertama, karena sampai sekarang Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi tidak ada buktinya secara historis (dalam Saleh Danasasmita/2003 dan Ayatrohaedi/1986). “Kedua, karena negara RI bukan lanjutan dari Kerajaan Pajajaran atau kerajaan-kerajaan lainnya, yang pernah berdiri di Nusantara, seperti Tarumanegara, Kutai, Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, Goa, Ternate, dan lain-lain,” terangnya.

Ajip juga menyoroti sudah lama kiprah orang Sunda kurang bergaung. Kiprah orang Sunda tidak hanya terasa kurang bergaung di tingkat nasional, di tingkat daerah pun tidak terasa. Padahal secara jumlah, konon orang Sunda menjadi bagian dari 20% total penduduk Indonesia.

“Tidak ada orang Sunda yang menjadi Presiden RI, yang menjadi wakil pun hanya seorang. Itu pun tidak memperlihatkan prestasi yang membanggakan. Mungkin karena merasa menjadi ban serep saja,” ungkapnya.

Sedangkan dari segi pendidikan, kata Ajip, tidak kalah menyedihkan. Misalnya saja, didirikannya Paguyuban Pasundan hampir seratus tahun lalu oleh Dajat Hidajat, untuk memajukan orang Sunda. Namun tidak berpengaruh sama sekali. Namanya terdengar kalau mau mengadakan kongres, namun kemudian mati lagi.

“Paguyuban Pasundan pun mempunyai sekolah berpuluh-puluh, bahkan ada universitasnya dengan moto teguh agamanya, tinggi ilmunya, dan luas budayanya. Tapi tidak ada studi tentang budaya, bahasa atau bahkan sastra Sunda. Jadi, budaya yang luas itu budaya yang mana?” tanyanya.

Menurut Ajip, kesadaran orang Sunda perlu dibina dengan kesadaran bahwa mereka berada di lingkungan Indonesia, bukan keturunan Prabu Siliwangi yang hendak mendirikan Kerajaan Pajajaran.

Bukan karena peninggalan kerajaan-kerajaan itu dianggap tidak ada, melainkan warisannya terutama seni budaya, sastra, dan lainnya banyak sekali. Warisan itu kemudian menjadi milik bangsa dan negara Indonesia yang harus dijaga.

Karena itu, Ajip memandang, jika ingin memajukan orang Sunda serta Tatar Sunda, pemerintah daerah tidak hanya Jawa Barat melainkan Banten, ikut bertanggung jawab. Termasuk menyediakan lembaga-lembaga yang memberikan kesempatan kepada anak-anak Sunda, untuk menyerap ilmu dan melatih kemampuannya dalam segala bidang.

“Tidak hanya cukup dengan menyediakan sekolah-sekolah formal, tapi juga harus menyediakan perpustakaan sebanyak-banyaknya. Begitu pula gedung-gedung untuk latihan dan pertunjukan berbagai kesenian dan kegiatan,” ujarnya.

Jangan sampai, lanjutnya, berita orang Sunda yang dikenal adalah karena menjadi korban meninggal akibat tertimbun sampah atau bencana longsor yang menimbulkan rasa kasihan. Bukan prestasi seperti anak Palestina, yang berhasil meledakkan bom bunuh diri di kubu musuh dan diberitakan di seluruh dunia dengan penuh kagum.

Biasa Saja

Bagi orang kebanyakan, mendapatkan gelar dari sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan hal yang membanggakan. Namun kegembiraan itu rupanya sama sekali tidak tersirat pada wajah Ajip Rosidi.

Tidak ada luapan kegembiraan berlebihan. Ajip terlihat tenang. Begitulah ekspresinya, apa adanya serta sederhana. “Gembira? Ah tidak. Biasa saja. Buat apa?” ujarnya singkat saat ditanya wartawan di Aula Unpad, Jln. Dipati Ukur, kemarin.

Menurut Ajip, rasa gembira berlebihan saat mendapatkan gelar, bukan miliknya. Melainkan milik sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah silau akan gelar. Bahkan hanya untuk sebuah gelar, berbagai cara negatif dilalui.

“Plagiat, beli ijazah dan lainnya. Untuk apa gelar jika tidak ada prestasinya? Seharusnya mengedepankan prestasi daripada mengejar gelar,” ungkapnya.

Bukan tidak berdasar jika Ajip yang menerima gelar Doktor HC tepat di hari ulang tahunnya, 31 Januari tersebut mengatakan demikian. Ajip yang kini berusia 73 tahun, secara latar pendidikan hanya sampai di tingkat SMP yakni di SMPN VIII Jakarta (1953). Sementara di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956), tidak tamat.

Perjalanan hidup Ajip memang penuh karya. Melalui tangan dinginnya, sudah tidak terhitung karyanya. Dimulai dari sajak, cerita pendek, roman, drama, wayang, memoar/otobiografi, biografi, ensiklopedia, surat, bunga rampai hingga publikasi penelitian pantun (dengan pengantar untuk setiap judul).

Dengan karyanya tersebut pula, menurut Rektor Unpad, Profesor Ganjar Kurnia disetarakan dengan karya yang dihasilkan lulusan sarjana. Karena itulah, pihaknya bisa memberikan gelar Doktor HC pada Ajip Rosidi. Pemberian Doktor HC di bidang budaya merupakan yang pertama kalinya dilakukan Unpad.

“Jujur saja, untuk memberikan gelar tersebut memakan waktu yang cukup lama sejak Rektor Prof. Himendra. Saya hanya meneruskan saja. Tapi karyanya yang sudah dikenal dan tidak diragukan lagi serta sarat prestasi, maka bisa disetarakan dengan lulusan sarjana,” tuturnya.***

Sumber : http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20110201050938&idkolom=beritautama

About diankurniaa

Dian Kurnia. Blogger; Penulis Lepas di koran lokal dan nasional; Mahasiswa Sejarah UIN SGD Bandung.
This entry was posted in Sejarah and tagged , , . Bookmark the permalink.

3 Responses to Ajip Rosidi, “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia”

  1. Helmad says:

    —————————————————————
    Ajip Rosidi mengatakan, orang Sunda suka membohongi diri sendiri dengan berpegang pada mitos-mitos yang tidak rasional dan tidak ada buktinya. Umpamanya, kata Ajip, percaya epada keagungan Kerajaan Pajajaran dan rajanya Prabu Siliwangi, yang secara historis tidak ada buktinya pernah ada. Sebab keduanya hanya terdapat dalam cerita pantun, dongeng, mitologi, dan semacamnya.
    —————————————————————

    Euh DASAR MEONG UDUR.
    Disada NGEOOOONG NGEOOOONG tapi uweuh kanyaho.

    Wilayah galaktika ilmu urai TRANS MATERI STRUKTUR KOTA (Jeung kota-kotane leungit euy) dalam lingkup “KEBENARAN MUTLAK HIRASIONAL” dibaca ku budak TK, anu ngan boga kanyaho hiji-hijina; RASIONAAAAAAAAAAAAAAAAAAL.
    Atuh disangkana teh RESEP NYIEUN TAHU GEJROT.

    Deuleu ituh nilai Rasional disangkana teh TOP SKOR.
    Waduuuuuuuuuuuh kabina-bina teuing Proooooooooooooof.

    Padahal Rasional teh tina kecap:
    1)RAS alias GOLONGAN SAMENEL.
    2)RASI alias GOLONGAN SAKULIWEK.
    3)RASIO alias GOLONGAN NU ACAK KADUT NILAINA DIRATA-RATAKEUN.

    DASAR MEONG UDUR.
    Dipasihan gelar ku Universitas PAJARATAN
    Waaaaaaaaaaaaaaaw bauuuuuuuu.

    Hidup Sunda Hidup PROPENJOL.

  2. Oi says:

    Mandalajati Niskala
    Seorang Filsuf Sunda
    Menjelaskan Dalam Buku
    SANG PEMBAHARU DUNIA DI ABAD 21,
    Mengenai Pro Kontra Ratu Adil

    Dalam kalimat terakhir dari Maklumat Prabu Siliwangi, beliau telah mengisyaratkan kepada kita mengenai kebangkitan Ratu Adil yang akan mampu menyelesaikan kemelut Dunia. Kehadiran Ratu Adil tersebut akan menggegarkan Dunia. Inilah kalimat terakhir dari Maklumat tersebut, sebagai berikut:

    “Darengekeun !
    Jaman bakal ganti deui tapi engke lamun gunung Gede enggeus bitu, disusul ku tujuh gunung, genjlong deui sajajagat.
    Urang Sunda disarambat.
    Urang Sunda ngahampura.
    Hade deui sakabehanana.
    Sanagara sahiji deui.
    Nusa jaya, jaya deui.
    Sabab ngadeg deui Ratu Adil.
    Ratu Adil anu sajati.
    Tapi ratu saha ?
    Ti mana asalna eta ratu?
    Engke oge dia nyaraho.
    Ayeuna mah siar ku dia eta budak angon !
    Jig geura narindak tapi ulah ngalieuk ka tukang!”

    Maklumatkan yang beliau keluarkan manyimpan banyak rahasia.
    Kalimat terakhir dari Maklumat tersebut kami terjemahkan sebagai berikut:

    Dengarkan !
    Jaman bakal berganti lagi tapi nanti kalau gunung Gede sudah meletus, disusul oleh meletusnya tujuh gunung, GEMPAR lagi se isi jagat.
    Orang Sunda disambut.
    Orang Sunda memaafkan.
    Menjadi baik kembali semuanya.
    Se Negara bersatu lagi.
    Nusa jaya, jaya lagi.
    Sebab bangkit kembali Ratu Adil.
    Ratu Adil yang sejati.
    Tapi ratu siapa?
    Dari mana asalna itu Ratu?
    Nani juga semua orang akan tahu.
    Sekarang cari olehmu itu Anak Gembala !
    Cepatlah melangkah tapi jangan menoleh ke belakang!

    Hal di atas adalah sebuah berita yang dimaklumatkan sejak 500 tahun yang lalu oleh Prabu Siliwangi. Sayang eksistensi Prabu Siliwangi dibohongkan banyak pihak bahkan dikatakan hanyalah sebuah mitos, justru oleh orang-orang yang mengaku dirinya para ahli budaya Sunda. Keberadaan Prabu Siliwangi banyak ditulis dan diberitakan oleh orang luar negeri yang hidup pada jamannya. Tome Pires misalnya, dia banyak mencatat tentang Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
    Dalam hal menghilangnya Prabu Siliwangi beserta struktur bangunan kerajaan dengan istilah Ngahyang kemudian dipercaya akan muncul kembali, sudah pasti pada jaman itupun menjadi berita yang mengherankan. Mereka semua percaya adanya Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, sebab mereka hidup pada jamannya, walaupun mereka bisa bingung dengan adanya istilah Ngahyang. Ada kemungkinan para akhli budaya Sunda sama seperti kami sebagai penulis kurang memahami arti kata Ngahyang itu. Namun walaupun demikian sebaiknya jangan terlalu mudah memberikan stigma buruk bahkan bernada pelecehan terhadap orang-orang yang yakin akan arti kata Ngahyang itu. Jujur saja kami sangat menyayangkan terhadap pernyataan yang terburu-buru itu, terlebih bersifat pelecehan. Hemat kami pernyataan seperti itu sebenarnya tidak perlu dilontarkan, terlebih oleh seorang ahli. Beberapa pernyataan yang melahirkan pro kontra diantaranya seperti: ”Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem seperti orang
    Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan dunia onom. Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun (Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang). Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata, ngan engke bakal ngadeg deui (Suatu saat akan berdiri kembali)” (Ini pernyataan Peceka Communication & Organizer).
    Pernyataan yang tidak perlu lainnya disampaikan oleh Ajib Rosidi pada Orasi Ilmiah saat penganugrahan gelar Dotor Honoris Causa bidang ilmu Budaya di Universitas Padjadjaran, dengan mengatakan bahwa orang Sunda suka membohongi diri sendiri dengan berpegang pada mitos-mitos yang tidak rasional dan tidak ada buktinya. Umpamanya percaya kepada keagungan Kerajaan Pajajaran dan rajanya Prabu Siliwangi , yang secara historis tidak ada buktinya pernah ada, sebab keduanya hanya terdapat dalam cerita pantun, dongeng, mitologi, dan semacamnya.
    Sayang sekali, penulis menganggap Ajib Rosidi menyampaikan pernyataan dengan argumentasi yang sangat rapuh. Jika alasan seperti yang dikemukakan Ajib Rosidi dijadikan acuan dalam dunia akademik, maka akan rusaklah cara berfikir manusia karena selalu berorientasi pada fakta material. Jika hanya fakta material saja yang dapat diakui menjadi sebuah kebenaran, maka bagaimana mungkin kita dapat membuktikan sebuah informasi mengenai keberadaan masa lalu yang bukti-bukti keberadaan peninggalan fisiknya semuanya hilang. Dari kekeliruan berfikir Ajib Rosidi sepantasnya tidak lantas dibumbui stigma buruk seperti perkataan sebagai berikut: “Hal itu menyebabkan orang Sunda tidak merasa perlu berusaha melakukan sesuatu. Sebab terlalu percaya akan datangnya pertolongan dari Prabu Siliwangi (padahal tak pernah datang)”. Terlebih kata-kata yang kurang pantas dilontarkan Ajib dengan mengatakan bahwa orang Sunda banyak yang suka menipu diri sendiri dengan jalan menutupi kenyataan dan kata-kata yang menyenangkan hati sendiri. Misalnya, orang Sunda itu berbudi halus, suka mengalah dan selalu mendahulukan orang lain. Kenyataannya banyak orang Sunda yang mau melakukan apa saja demi kedudukan. ‘Artinya munafik, perkataan tidak sesuai dengan kata hati dan keinginannya .
    Dari contoh dua pernyataan di atas tentu saja kami menganggap perlu mendapatkan konfirmasi tentang kata “Ngahyang” dan sebuah “Sistem Nilai Akal” dalam kontek ucapan “Tidak Rasional” yang disampaikan Ajib Rosidi.

    Bagaimana pandangan Filsuf Sunda Mandalajati Niskala mengenai penjelasan kata di atas. Kami sangat mengharapkan penjelasan dari beliau dengan harapan kita semua, minimal para pembaca mendapatkan pemahaman secara benar dan gamblang. Inilah jawaban dari Mandalajati Niskala mengenai kata “Ngahyang” dan “Sistem Nilai Akal” sebagai berikut:
    ________________________________________
    Kata Ngahyang berasal dari kata ‘hayang’. Hayang sendiri artinya mendambakan sesuatu untuk dapat diperoleh. Bentuk kata Hayang menjadi Hiyang, menggambarkan sebuah upaya pergerakan yang berdampak pada perubahan ruang dan waktu sehingga yang didambakan itu bisa dicapai. Perubahan bentuk kata Hiyang menjahi Hyang, yaitu dengan meng’gaib’kan vocal ‘I’ memberi makna bahwa perubahan ruang waktu telah terjadi secara kilat dan ‘gaib’. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa kata Ngahyang artinya adalah MELAKUKAN PERUBAHAN RUANG DAN WAKTU SECARA KILAT DAN GAIB. Ngahyang sendiri bukan mati atau meninggal tapi masih tetap hidup eksis pada ruang waktu yang berbeda. Bukankah kita faham bahwa ada kehidupan lain selain kehidupan Bumi?; kemudian pertanyaannya, apakah yang Ngahyang itu bisa datang kembali pada kehidupan Bumi? Jawabannya BISA. Ketahuilah, bagi seseorang yang karena kesalehannya dalam pandangan Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga mampu menggapai ujung ilmu, akan mampu menjadi “MANUSIA ABADI” tanpa terminasi. Ketahuilah pula bahwa kita ini diciptakan Tuhan hakekatnya abadi. Sekali lagi ketahuilah KITA DICIPTAKAN TUHAN HAKEKATNYA ABADI namun melalui tahapan terminasi Dunia dan Akherat. Saya harap kita semua menjadi faham bahwa kita akan menghadapi kehidupan yang berlanjut dan ABADI. FAHAMI ITU…..!!!

    Menjawab Sistem Nilai Akal. Ketahuilah bahwa Dazal sebenarnya sangat memahami Sistem Nilai Akal secara pasti. Boleh dikatakan bahwa saat ini SATU-SATUNYA yang faham Sistem Nilai Akal adalah Dazal, namun Dazal tidak berkeinginan Sistem Nilai Akal ini difahami oleh siapapun termasuk oleh para akhli fikir dan akhli agama, karena Dazal sangat memahami bahwa Sistem Nilai Akal ini, satu-satunya alat bagi manusia untuk dapat mencapai hakekat Tuhan Yang Maha Kuasa. Dazal tidak menginginkan semua itu dapat dicapai oleh manusia manusia lain selain oleh dirinya, Dia berkeinginan agar semua manusia tergelincir.

    Kini upaya Dazal itu benar-benar telah berhasil. Sistem Nilai Akal telah dikacaukan oleh Dazal dan berhasil masuk pada semua relung fikiran manusia melalui pendidikan akademis sebagai alatnya. Akibatnya hampir semua definisi yang dibangun oleh manusia produk akademis belum dapat menjelaskan tentang Sistem Nilai Akal, bahkan cenderung definisi satu dengan yang lainnya bisa saling berbenturan.

    Jujur saja jika demikian halnya, sebenarnya Sistem Nilai Akal BELUM FINAL. Produk akademis dalam berbagai disiplin ilmu belum ada yang “Becus” melahirkan definisi Sistem Nilai Akal secara benar. Bahkan berbagai definisi produk akademik dalam berbagai hal dibuat oleh Dazal untuk tidak sampai pada titik kebenaran hakekat, yang ada adalah kebenaran semu yang dilestarikan oleh Dazal menjadi sebuah kebenaran.

    Ini semua menjadi indikasi bagi Dazal, bahwa Dazal masih eksis merajai Dunia hingga kini, bahkan terlindungi secara kokoh dalam berbagai aspek kehidupan. Ketahuilah jika datang seseorang yang mampu membongkar alam fikiran manusia menuju Sistem Nilai Akal yang hakekat, menjadi sebuah indikasi bahwa Dazal akan segera lumpuh.
    Itulah TUGAS RATU ADIL yang harus eksis dalam bentuk sistem maupun personal.
    Menurut pandangan Filsuf Sunda yang memasukan eksistensi dirinya dalam “Ruang Tuhan” bahwa Sistem Nilai Akal sebenarnya ada tiga (3) yaitu ‘Sistem Nilai Rasional’, ‘Sistem Nilai Irasional’ dan ‘Sistem Nilai Hirasional’. Pemahaman ketiga terminology ini harus diawali dengan memahami “SISTEM ASMA KULAHA” . Baru setelah itu kita akan memahami apapun yang tertuang dalam sebuah bahasa maupun kata. Rasanya tidak pada tempatnya saya untuk menjelaskan semua itu karena terlalu panjang dan harus secara rinci.
    Dari ketiga Sistem Nilai tersebut bahwa ‘Sistem Nilai Rasional’ menempati urutan SISTEM NILAI TERREDAH dan ‘Sistem Nilai Hirasional’ menempati SISTEM NILAI TERTINGGI.
    Pemahaman mengenai kata Ngahyang seperti yang saya jelaskan si atas termasuk dalam Sistem Nilai Akal Hirasional. Pemahaman akan kata Ngahyang jelas akan mentok dan ngawur karena berhubungan dengan persoalan TINGKAT KUALITAS AKAL. Walaupun demikian Dazal masih terus malakukan pembelaan dengan fitnah dan stigma buruk sebagai senjata pamungkas, yaitu melalui tuduhan “Hurapat, Bid’ah, Tahayul”.
    Sebagai stimulasi untuk dapat memahami Sistem Nilai Akal, sedikit saya jelaskan sebagai berikut:
    1) SISTEM NILAI RASIONAL berpusat pada OTAK.
    Sistem Nilai ini berada pada batasan sifat-sifat Ras, Rasi, Rasio.
    Nilai Rasional adalah nilai Rasio atau rata-rata.
    Sistem Nilai ini bersifat RELATIF, tidak mewakili semua tingkatan LOGIKA FIKIR.
    Parameter Sistem Nilai Rasional yaitu:
    BAIK atau BURUK.
    2) SISTEM NILAI IRASIONAL berpusat pada HATI.
    Sistem Nilai ini keluar dari batasan sifat-sifat Ras, Rasi, Rasio atau “Rasio Kelompok”.
    Sistem Nilai ini bersifat UNIVERSAL, mewakili semua tingkatan LOGIKA FIKIR.
    Parameter Sistem Nilai Irasional yaitu:
    BENAR atau SALAH.
    3) SISTEM NILAI HIRASIONAL berpusat pada pertemuan OTAK dan HATI.
    Sistem Nilai ini keluar dari batasan kemanusiaan”.
    Sistem Nilai ini bersifat MUTLAK, berada di atas semua tingkatan LOGIKA FIKIR manusia normal.
    Parameter Sistem Nilai Hirasional yaitu:
    BENAR dan BAIK atau BAIK dan BENAR.
    Itu sementara jawaban dari saya. Jika ada yang merasa penasaran, sebaiknya merenung dan bertafakur bersama Tuhan Yang Maha Kuasa, agar dibukakan jawaban lebih dari sekedar yang saya jelaskan.
    ________________________________________
    Demikian penjelasan Mandalajati Niskala dari dua pertanyaan yang kami kemukakan mengenai kata Ngahyang dan Sistem Nilai Akal. Di akhir jawaban rupanya Mandalajati Niskala tidak ingin mamaksakan siapapun untuk mengikuti apa yang dijelaskannya. Beliau lebih menganjurkan dan mengajak kepada siapapun untuk membebaskan diri dari pengaruh orang lain termasuk dipengaruhi oleh dirinya, kecuali pengaruh Tuhan Yang Maha Kuasa.
    Penulis memandang Mandalajati Niskala memiliki pemahaman tentang Sunda jauh berada di atas para akhli dan para akademis. Ketika kami bertanya mengenai kesalahan dua pandangan di atas, beliau tidak terlalu merespons dan hanya memberikan jawaban secara singkat tapi cukup tajam dan mendalam: “Lawan tanding saya bukan itu tapi Dazal. Saya dapat memaklumi keadaan. Siapapun nanti akan menjadi baik dan menyadari kebodohannya, karena semua itu hanya bertalian dengan tingkat kedewasaan”.

    Naskah ini dicuplik dari
    Editing penulis buku
    SANG PEMBAHARU DUNIA DI ABAD 21
    Yang akan beredar di bulan Maret 2012

    Kiriman dari:
    Qori Syahida Salam Cakrapati
    Putri ke 3 dari Mandalajati Niskala

  3. tirta says:

    maklum si ajip mah jelema pikun, pajajaran lain fiksi, buktina aya dina :

    tina literatur contona: Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sewa Ka Darma, Carita Waruga Guru, Uga Wangsit Siliwangi, Bujangga Manik, Pantun Bogor, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan, Pustaka Carita Parahyangan i Bhumi Jawa Kulwan, Pustaka Nagarakretabhumi, Pustaka Samastabhuwana, Jsb.

    teras aya catetan ti urang Portugis, Tome Pires. teras aya deui urang Walanda, Scipio. teras Adolf Winkler, Abraham van Riebeeck jsb. sadayana pernah sumping ka Dayeuh Pakwan. sadayana muji kamegahan Dayeuh Pakwan.

    Bukti fisik Contona: Palangka Sriman Sriwacana atanapi Watu Gigilang aya di Karajaan Banten. teras Mahkota BinoKasih Sanghyang Pake aya di Karaton Sumedang. di Jakarta aya tugu perjanian Sunda-Portugis (Padrao). teras aya deui Prasasi-prasati seueur jumlahna.

    Pajajaran oge pernah dicaritakeun ti sumber luar. Ti sumber Jawa, contona: Pararaton, Babad Tanah Jawi, Negarakertagama, Babad Pajajaran jsb.. ti Urang Portugis aya Suma Oriental.ti urang cina aya bukuna namina teh “shun-feng hsiang-sung” jeung aya deui dina cutatanna Chu-fan-chi.

    sabenerna mah loba pisan bukti-buktina teh. tapi umapi disebatkeun naon wae titinggaleunna… matak jangar… sabad sakitu lobana…

Leave a comment